Label

Rabu, 20 Januari 2010


Lonjakan harga komoditas strategis di tingkat global, terutama minyak bumi, bisa menjadi faktor yang mematangkan krisis ekonomi-keuangan di Indonesia. Karena itu pula, potensi krisis ekonomi-keuangan seperti satu dasarwarsa lalu sungguh mutlak perlu diwaspadai dan diantisipasi dengan serius.
Demikian rangkuman pendapat ekonom Umar Juoro dan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesi (BI) Miranda Goeltom, kemarin, di Jakarta. Miranda berbicara dalam forum seminar
"Sepuluh Tahun Krisis Ekonomi: Masa Kebangkitan Ekonomi Indonesia", sementara Umar Juoro dalam perbincangan dengan Suara Karya.
Di lain pihak, mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono di sela seminar itu menuturkan bahwa cadangan devisa negara-negara Asia, termasuk Indonesia, membuat kalangan pemilik modal tidak berani mencoba-coba mengguncang pasar uang. Bagi mereka, katanya, langkah ke arah itu niscaya percuma saja.
Menurut Umar Juoro, lonjakan harga minyak dunia yang saat ini sudah melampaui level 70 dolar AS per barel bukan tidak mungkin mengguncang ekonomi global. Itu, pada gilirannya, jelas berimbas terhadap Indonesia. "Jadi, fluktuasi harga minyak dunia ini amat mengkhawatirkan," katanya.
Umar menekankan, fluktuasi harga minyak dunia menciptakan ketidakpastian ekonomi dan bisnis. Bagi Indonesia, katanya, lonjakan harga minyak ini memang meningkatkan penerimaan negara. Tetapi di sisi lain, realisasi subsidi juga jadi meningkat. Sementara bagi dunia usaha nasional, lonjakan harga minyak menjadi faktor yang menyesakkan karena berdampak membengkakkan beban biaya akibat harga bahan bakar minyak (BBM) untuk industri sudah tak bersubsidi lagi.
Kondisi demikian jelas mengakibatkan peluang krisis ekonomi-keuangan kembali merebak seperti satu dasawarsa lalu. Dengan kata lain, harga minyak sekarang ini menjadi faktor yang mematangkan krisis itu.
Hampir senada dengan Umar Juoro, Miranda Goeltom menyatakan bahwa harga komoditas strategis di tingkat global meningkatkan risiko keterkejutan ekonomi. "Harga minyak, misalnya, belakangan ini terus naik," katanya memberi contoh.
Menurut Miranda, di waktu lalu keterkejutan ekonomi ini dipicu oleh faktor nilai tukar (exchange rate) mata uang terkait kondisi perbankan yang tidak sehat. Tetapi kini faktor pemicu itu adalah harga komoditas dunia seperti minyak bumi. Keterkejutan ekonomi muncul, katanya, akibat ketidakseimbangan global.
Miranda memaparkan, kenyataan itu membuat kewaspadaan nasional harus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, informasi tentang tanda peringatan dini (early warning indicator) harus disiagakan. Kewaspadaan dan kesiagaan itu mutlak, ujarnya, karena kondisi perekonomian dunia terus berkembang pesat dan tak bisa dibendung.
"Dapatkah Anda bayangkan jika harga minyak menjadi 250 dolar atau 100 dolar, apa yang terjadi?" kata Miranda. Dia mengingatkan, ekonomi nasional setiap saat bisa mengalami keterkejutan akibat perkembangan harga komoditas-komoditas strategis di tingkat global yang makin tidak sehat.
Artinya, dalam konteks itu, krisis ekonomi-keuangan seperti sepuluh tahun lalu bukan mustahil terulang. Karena itu, sekali lagi Miranda menekankan pentingnya informasi untuk membangun peringatan dini tentang indikator ekonomi nasional.
Sementara itu, Soedradjad Djiwandono mengaku tidak terlalu risau oleh kemungkinan krisis ekonomi-keuangan kembali melanda Indonesia seperti sepuluh tahun lalu. Dia berpandangan, kondisi makro ekonomi di Asia kini lebih kuat dibanding saat menjelang krisis ekonomi-keuangan pada 1997.
Atas dasar itu, Soedradjad berkeyakinan bahwa pelaku pasar tidak akan membuat langkah-langkah yang bisa mengakibatkan krisis ekonomi-keuangan merebak kembali, termasuk di Indonesia. Terlebih Asia kini sudah menerapkan sistem nilai tukar mata uang yang lebih fleksibel, di samping cadangan devisa di sebagian negara Asia juga relatif besar.
"Cadangan devisa di Asia kini mencapai 3,5 triliun dolar AS. Di Indonesia sendiri, cadangan devisa lebih dari 50 miliar dolar AS," kata Soedradjad.
Selain itu, sektor perbankan juga lebih kuat dibanding saat sebelum krisis pada 1997. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional kini rata-rata 20 persen dengan rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (LDR) rata-rata 60 persen. "Di sektor korporasi, eksposur utang luar negeri kini juga relatif rendah," ujarnya.
Tetapi, menurut pengamat pasar uang Farial Anwar, Indonesia tetap rentan mengalami krisis ekonomi-keuangan sebagai risiko menganut rezim devisa bebas. Namun di sisi lain, katanya, perbankan nasional aman karena tidak ada lagi penjarah dana bank seperti dahulu. "Krisis bisa benar-benar terjadi jika pemerintah begitu bodoh," katanya.
Cadangan devisa Indonesia juga tidak mencemaskan. Selain kini bernilai lebih dari 50 miliar dolar AS, cadangan devisa ini juga tanpa pinjaman IMF lagi karena sudah dilunasi BI pada tahun lalu. "Sekarang kita sangat kaya dengan cadangan devisa. Itu bisa digunakan untuk berbagai situasi, ekspor impor, membayar utang, operasi pasar terbuka, dan lain-lain," katanya.
Kemampuan BI mengerem arus masuk dana panas (hot money), kata Farial, cukup besar. Jika dalam jangka pendek hot money yang kini bernilai sekitar 15 miliar dolar AS itu tiba-tiba ditarik ke luar dari Indonesia, ujarnya, cadangan devisa masih bisa diandalkan menahan guncangan dalam sistem ekonomi dan keuangan di dalam negeri.
"Tetapi tidak mungkin dana yang berjumlah besar itu lari sekaligus dalam waktu singkat. Yang penting, tetap harus ada kontrol atas arus dana yang masuk. Jangan sampai kita tidak tahu asing mau masuk sampai kapan, IHSG tetap tinggi sampai kapan. Kita tak boleh sampai didikte asing. Kita harus tahu apa yang harus dilakukan," ujar Farial.
Sementara itu, ekonom Aviliani menyebutkan, meski besar, cadangan devisa belum tentu cukup untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar.
"Yang harus diperhatikan adalah utang swasta di atas aman. Utang pemerintah juga masih aman. Lalu sektor riil harus bergerak agar dana jangka pendek segera beralih menjadi investasi jangka panjang. Jika tidak, arus masuk dana jangka pendek yang sudah menjadi bubble sekarang ini sungguh berbahaya" kata Aviliani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar