Label

Rabu, 20 Januari 2010


Peran Nasional dalam Pengusahaan Migas Terus BerkembangDitulis Oleh : Mutia RanitaJAKARTA. Peran pihak nasional dalam pengusahaan bidang hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia terus berkembang. Dibandingkan era awal pengusahaan hulu migas sekitar seratus tahun lampau, peran nasional saat ini telah tumbuh menjadi sekitar 29 persen. Peran ini amat strategis dan penting mengingat pengusahaan hulu migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan beresiko tinggi."Sesuai dengan semangat pemerintah untuk senantiasa memajukan perusahaan nasional, saat ini perusahaan nasional yang terlibat telah mencapai 29% dibanding era awal pengusahaan migas di Indonesia," ujar Sutisna Prawira, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral saat memberikan penjelasan singkat mengenai Peran Migas Bagi Pembangunan Nasional di Jakarta, Selasa (17/2).Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM Sutisna Prawira menjelaskan, pengusahaan migas di Indonesia sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda, sekitar 100 tahun lalu. Seiring dengan perkembangan jaman, pengusahaan migas mengalami perubahan dan penyesuaian, terutama sejak kemerdekaan NKRI 1945 yang menetapkan pengusahaan migas dilakukan berdasarkan UUD 1945 dan diperuntukkan sebesar-sebesarnya bagi kemakmuran masyarakat.Pada tataran operasionalnya, perkembangan pengusahaan migas diatur oleh Undang-Undang (UU) nomor 44 Prp. tahun 1960 tentang Pertambangan Migas. Secara berturut-turut UU tersebut disempurnakan oleh UU nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Migas Negara, dan saat ini berdasarkan UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.Pengusahaan sumber daya migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan mengandung resiko investasi yang besar. Untuk itulah pengusahaan migas sejak awal telah membuka ruang bagi investor asing. Kendati demikian, seiring dengan berkembangnya kemampuan nasional, peran perusahaan nasional dalam bidang pengelolaan migas juga senantiasa memperlihatkan kemajuan.Berdasarkan ciri pengusahaan sumber daya migas di atas dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara, sejak tahun 1964 telah diberlakukan pola Production Sharing Contract (PSC). "Pola ini menempatkan negara sebagai pemilik dan pemegang hak atas sumber daya migas. Sedang perusahaan sebagai kontraktor," papar Sutisna Prawira, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM.Pada pola PSC, investasi ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan (sebagai kontraktor). Resiko investasi antara lain berupa hilangnya modal karena tidak menemukan migas menjadi beban kontraktor. Namun jika mendapatkan migas, investasi yang telah dikeluarkan kontraktor di-cover oleh hasil produksi atau dikenal dengan cost recovery. Selain itu hasil produksi migas juga dibagi antara negara dengan kontraktor yang diatur dalam kontrak. Pada saat ini PSC sudah mengalami kemajuan dengan ditetapkan First Tranche Petroleum (FTP) yaitu sebelum investasi dikeluarkan untuk kontraktor dari hasil produksi; dipotong dahulu (sekitar 20%) untuk negara.Pada perkembangannya, berdasarkan UU nomor 8 tahun 1971, kewenangan negara/pemerintah dalam pengusahaan bidang hulu migas di Indonesia diwakili oleh Pertamina. Selanjutnya, berdasarkan UU nomor 22 tahun 2001 dilakukan oleh Badan Pelaksana usaha Hulu Migas.Selain telah memberikan peran bagi pihak nasional, sub sektor migas telah membuktikan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan/keuangan negara. Bahkan pada tahun 1980-an, peran sub sektor migas terhadap APBN pernah mencapai lebih dari 70 persen. Saat ini peran sub sektor migas terhadap penerimaan/keuangan negara sebesar sekitar 31,62 persen.Berdasarkan study yang dilakukan oleh Wood Mackenzie (2007), penerimaan bagian pemerintah (government take) untuk pengusahaan bidang hulu migas di Indonesia mencapai 79% (USD 75/barel dari existing asset) atau di atas rata-rata negara lain yaitu sebesar 73% (USD 68/barel)."Pemerintah telah bekerja keras untuk mengusahakan sumber daya migas sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Keterlibatkan investasi asing semata-mata bertujuan untuk keperluan ini. Negara dan pemerintah tetap sebagai pemilik dan pemegang sah atas sumber daya migas," kata Sutisna Prawira.(ADMINISTRATOR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar